Friday, May 6, 2011

perjanjian


PERJANJIAN - Pengertian Pokok dan Teknik Perancangannya July 17th 2007  


Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu mekanisme penyesuaiannya ditempuh dengan mengadakan kerjasama di antara para pelaku bisnis, karena tidak semua jenis bisnis dikuasai. Terlaksananya kerjasama tidak terlepas dari perjanjian atau yang lebih dikenal sebagai Perjanjian yang mendasari kerjasama tersebut. Untuk itu sudah sepatutnya para pelaku bisnis mengenal hal-hal dasar yang meliputi Perjanjian. Dalam kesempatan ini, disajikan penggalan-penggalan penyusunan Perjanjian yang baik.

I.             Mengenal Teori Perjanjian

Perjanjian (sering disebut sebagai kontrak dalam pergaulan bisnis sehari-hari) diliputi oleh berbagai istilah yang bagi banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau malah dianggap sama, padahal hakekatnya berbeda. Maka dari itu, sebagai langkah awal ada baiknya diperkenalkan dahulu perbedaan istilah yang ada dalam hukum perjanjian yang diuraikan berikut ini.

A.    Perbedaan Perikatan dan Perjanjian

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).  Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
     
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.

Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.

Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).  

Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat didalamnya.

B.     Perbedaan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Perjanjian

Memorandum of Understanding atau disebut juga nota kesepahaman merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis dan hukum. Banyak orang, perusahaan atau para pelaku bisnis, memakai istilah itu untuk aktivitas bisnisnya. Akan tetapi seringkali istilah tersebut menimbulkan kerancuan. Orang banyak merasa rancu untuk membedakan antara pengertian Memorandum of Understanding (MOU) dengan sebuah perjanjian.

Sejauh mana perbedaan Memorandum of Understanding (MoU) lebih menunjuk kepada bentuk kesamaan pandangan bagi para pihak pembuatnya. Kesamaan pandangan bagi para pihak dan kesamaan kehendak yang kemudian di wujudkan dalam bentuk tertulis. Adanya kesepahaman itu bisa menimbulkan akibat bisnis bagi para pihak tergantung sejauh mana para pihak saling bersepaham, namun belum mempunyai akibat hukum. MoU ibarat ikatan pertunangan diantara dua orang yang dapat diputus oleh salah satu pihak dan bila pertunangan itu diputus atau tidak diwujudkan dalam tali perkawinan, tidak membawa konsekuensi hukum apapun. Berbeda halnya dengan Perjanjian yang ibarat perkawinan tidak dapat diputus begitu saja tanpa adanya putusan hukum dimana pemutusan itu menimbulkan akibat hukum terhadap anak dan harta.

Dalam MoU, kesepahaman para pihak yang tertuang dalam bentuk tertulis dimaksudkan sebagai pertemuan keinginan antara pihak yang membuatnya. Sedangkan akibat dari Memorandum of Understanding apakah ada dan mengikat kepada para pihak, sangat tergantung dari kesepakatan awal pada saat pembuatan dari Memorandum of Understanding tersebut. Ikatan yang muncul dalam MoU adalah ikatan moral yang berlandaskan etika bisnis, sedangkan ikatan dalam perjanjian merupakan ikatan hukum yang berlandaskan pada aturan hukum dan pada kesepakatan para pihak yang dipersamakan dengan hukum. 

Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement merupakan pertemuan keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang memberikan konsekuensi hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk melaksanakan poin-poin kesepakatan dan apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan sebagaimana disepakati dalam perjanjian. Sedangkan pada MoU tidak ada kewajiban yang demikian.

Dalam praktek sering terjadi judul yang digunakan Memorandum of Understanding, namun isinya merupakan perjanjian yang sudah mengikat para pihak sehubungan dengan isi perjanjian tersebut.

Selain istilah MOU ada juga istilah Letter of Intent (LoI) yang sering juga disebut memorandum of intent secara teori dimaksudkan sebagai kesepakatan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat. Dengan kalimat lain, letter of intent ini sering diberikan sebagai langkah awal untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan Perjanjian.

Istilah lain adalah Letter of Comfort yang merupakan surat atau dokumen yang berisikan pernyataan sikap mendukung ataupun bentuk penilaian positif dari seseorang terhadap seseorang lainnya, yang diberikan kepada pihak lain yang membutuhkannya dengan tujuan agar dukungan atau rekomendasi tersebut dapat semakin menambah keyakinan bagi pihak penerima tersebut untuk memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan hubungan hukum, baik misalnya dalam pemberian fasilitas kredit.


Dari uraian tersebut di atas dapat kita lihat bahwa, keinginan para pihak untuk menentukan apakah ikatan tertulis tersebut akan merupakan perjanjian yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat atau hanya merupakan kesepahaman yang mempunyai konsekuensi pertanggungjawaban secara moral, sangat tergantung kepada para pihak yang membuat ikatan tersebut. Jadi ada tidaknya akibat hukum pada suatu ikatan yang dibuat sangat tergantung pada kesepakatan para pihak.

C.     Perjanjian Sama Artinya Dengan Kontrak dan Agreement

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan pengertian perjanjian sebagai kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Adapun pengertian kontrak tidak disebut secara tegas dalam literatur hukum. Kontrak lebih merupakan istilah yang digunakan dalam perikatan-perikatan bisnis disamping MoU dan LoI, yang pemakaian istilahnya bersifat khusus untuk perikatan bisnis. Kontrak yang dibuat dalam hubungan bisnis memiliki sifat yang tidak berbeda dengan perjanjian, yaitu ikatan yang memiliki akibat hukum. Oleh karena kontrak merupakan kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, maka pengertiannya sama dengan perjanjian sekalipun istilah kontrak belum tentu sebuah perjanjian karena perjanjian tidak eksklusif sebagai istilah suatu perikatan dalam bisnis.  

Disamping perjanjian dan kontrak, masih dikenal istilah persetujuan atau dalam bahasa Inggris disebut agreement. Sama seperti yang dimaksud oleh perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata, pengertian agreement dalam pengertian luas dapat berarti sebagai kesepakatan yang mempunyai konsekuensi hukum dan juga kesepakatan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum. Agreement akan mempunyai kualitas atau pengertian perjanjian atau kontrak apabila ada akibat hukum yang dikenakan terhadap pelanggaran janji (breach of contract) dalam agreement tersebut. Dalam pengertian kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, maka agreement sama artinya dengan perjanjian.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan istilah kontrak juga merupakan agreement karena agreement dalam bahasa Indonesia merupakan perjanjian, sedangkan sebuah perjanjian merupakan persetujuan yang melahirkan perikatan, maka istilah perjanjian, kontrak, ataupun agreement memiliki pengertian yang sama. Dalam paparan tulisan ini, penggunaan ketiga istilah itu merujuk kepada hal yang sama.

D.    Akibat Perjanjian

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perjanjian bukanlah perikatan moral tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.
 
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang. Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak.

II.     Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:

1.      Berdasarkan kesepakatan para pihak;
Kesepakatan merupakan faktor esensial yang menjiwai perjanjian, kesepakatan biasanya diekspresikan dengan kata “setuju” disertai pembubuhan tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang tercantum dalam perjanjian. Dalam perjanjian suatu kesepakatan dinyatakan tidak sah, apabila kesepakatan yang dicapai tersebut terjadi karena kekhilafan atau dibuat dengan suatu tindakan pemaksaan atau penipuan.

2.      Pihak-pihak dalam perjanjian harus cakap untuk membuat perjanjian;
Setiap orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum, namun KUHPerdata membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Untuk itu kita perlu mengetahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak mempunyai kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Berikut adalah pihak-pihak yang tidak cakap secara hukum untuk membuat perjanjian:
1.      Orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum berumur 21 tahun
2.      Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, misalnya: anak-anak, orang yang pikirannya kurang sehat atau mengalami gangguan mental.
3.      Semua pihak yang menurut undang-undang yang berlaku tidak cakap atau dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian, misalnya; istri dalam melakukan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu harus mendapatkan persetujuan suami.

3.      Perjanjian menyepakati suatu hal;
Hukum mewajibkan setiap perjanjian harus mengenai sesuatu hal sebagai objek dari perjanjian, misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli.

4.      Dibuat berdasarkan suatu sebab yang halal.
Perjanjian menuntut adanya itikad baik dari para pihak dalam perjanjian, oleh karena itu perjanjian yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak halal, misalnya karena paksaaan atau tipu muslihat tidak memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian.

II.          Sebab-sebab Berakhirnya Perjanjian

Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:

1.      Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.

2.      Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.    

3.      Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.


4.      Perjumpaan Hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing. 

5.      Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.

6.      Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.

7.      Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.

8.      Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.

9.      Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.

10.  Lewatnya waktu  
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa) perjanjian.


III.       Cara Menafsirkan Perjanjian

Perjanjian tidak menimbulkan perselisihan apabila dilaksanakan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan didalamnya. Akan tetapi, kadangkala perbedaan penafsiran terhadap kesepakatan dalam perjanjian dapat menimbulkan perselisihan diantara para pihak yang terikat didalamnya sehingga mengganggu pelaksanaannya. Oleh karena itu KUHPerdata telah mengatur tata cara penafsiran perjanjian sebagai berikut:
1.      jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari pada perjanjian dengan cara penafsiran;
2.      jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dilakukan penyelidikan terhadap maksud para pihak yang membuat perjanjian tersebut daripada hanya berpatokan pada kata-kata dalam perjanjian;
3.      jika terhadap suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka haruslah dipilih pengertian yang memungkinkan janji dalam perjanjian dapat dilaksanakan daripada memberikan pengertian yang tidak mungkin terlaksana;
4.      jika terhadap kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian;
5.      terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan atas pengertian dan pelaksanaan perjanjian, maka hal yang meragukan tersebut haruslah ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negara atau tempat dimana perjanjian dibuat;
6.      hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan atau dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian;
7.      semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, yaitu tiap janji harus ditafsirkan berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian secara keseluruhan, artinya tidak dapat ditafsirkan sendiri-sendiri terlepas dari janji-janji lain dalam perjanjian;
8.      jika terjadi keragu-raguan terhadap suatu hal dalam perjanjian, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.    


IV. Teknik Perancangan Perjanjian

Di dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan keberlakuan perjanjian di Indonesia memuat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      adanya kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian;
2.      para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut mempunyai kapasitas (juga kewenangan) hukum untuk melakukan perjanjian;
3.      hal yang diperjanjikan jelas; dan
4.      sebab perjanjian halal.

Penegasan terhadap keberlakuan dari perjanjian yang telah memenuhi keempat unsur tersebut sebagai suatu aturan hukum yang mengikat kedua belah pihak, ditegaskan dalam 1338 KUHPerdata yaitu suatu Perjanjian merupakan suatu undang-undang bagi para pembuatnya. Keberlakuan perjanjian sebagai sebuah undang-undang mengikat bagi para pihak dan memaksa para pihak untuk melaksanakannya. Karena Perjanjian memiliki akibat yang sangat besar terhadap para pembuatnya, maka Perjanjian sepatutnya dipersiapkan dan dibuat sebaik mungkin untuk melindungi para pihak dan menjamin hal diperjanjikan dalam Perjanjian terlaksana. Untuk itu perlu dipahami hal-hal dasar dalam teknik perancangan Perjanjian berikut ini.


A.  Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam membuat perjanjian

Sebelum membuat Perjanjian sebaiknya terlebih dahulu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Penguasaan terhadap bisnis yang diperjanjikan dalam Perjanjian;
2.      Identifikasi para pihak dalam Perjanjian;
3.      Penguasaan regulasi;
4.      Penggunaan tenaga lain;
5.      Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)

Lebih jauh keempat hal diatas diuraikan berikut ini:

1.      Penguasaan Terhadap Bisnis dalam Perjanjian
Pembuatan suatu Perjanjian sangat tergantung terhadap aspek bisnis yang diperjanjikan dalam Perjanjian, sehingga diperlukan pengetahuan yang memadai atas bisnis tersebut. Biasanya keuntungan yang ditawarkan oleh jenis bisnis tertentu menyebabkan pelaku bisnis tertarik untuk melakukan investasi atau kerjasama, namun tidak semua jenis bisnis dikuasai oleh para pelaku bisnis sehingga diperlukan orang yang menguasai bisnis tersebut yang dapat membantu para pelaku bisnis memahami seluk beluk bisnis dimaksud. Ada baiknya pelaku bisnis yang hendak melakukan Perjanjian bisnis meminta bantuan pihak yang mempunyai wawasan luas tentang bisnis tersebut.

2.      Identifikasi Para Pihak
Suatu Perjanjian merupakan bentuk kesepakatan pihak-pihak yang melakukan perjanjian, sehingga dalam penyusunan perjanjian dituntut ketepatan penempatan pihak. Kesalahan penempatan pihak dalam Perjanjian akan berakibat tidak mengikatnya pihak yang dikehendaki sebagai pihak, misalkan apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah perseroan, maka hendaknya perjanjian ditandatangani oleh wakil perseroan menurut anggaran dasar, yaitu direksi sesuai dengan kewenangan direksi tersebut atau setidaktidaknya pihak yang menerima kuasa untuk melakukan Perjanjian tersebut;

Disamping aspek legal formal diatas, juga patut dipertimbangkan latar belakang kebudayaan serta kekuatan ekonomi serta aspek-aspek lain yang akan mempengaruhi isi perjanjian. Aspek-aspek tersebut akan menentukan materi dan teknik melakukan negosiasi atas materi-materi (hal-hal) yang akan menjadi bahan dalam perjanjian-perjanjian antara para pihak.

3.      Penguasaan Regulasi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perjanjian yang dibuat tergantung pada jenis bisnis yang diperjanjikan, karena itu regulasi yang berkaitan dengan Perjanjian juga tidak selalu sama. Penguasaan akan jenis bisnis dalam Perjanjian membawa pada tuntutan untuk menguasai regulasi yang berkaitan dengannya, sehingga perlu dipastikan bahwa apa yang diperjanjikan dalam Perjanjian telah disesuaikan dengan regulasi yang mengaturnya, mulai dari regulasi besar sampai yang terkecilnya, mulai dari undang-undang sampai pada keputusan kepala instansi terkait. Kadangkala beberapa ketentuan dalam regulasi tidak menunjang aspek Perjanjian, maka perlu disepakati untuk dikesampingkan. Ketentuan-ketentuan dalam regulasi ada yang dapat dikesampingkan dan ada yang tidak, maka diperlukan pengenalan terhadap sifat-sifat dari ketentuan dalam regulasi terkait.

4.      Penggunaan Tenaga Lain
Untuk memastikan suatu perjanjian dibuat dengan baik, maka sebaiknya pihak yang melakukan perjanjian meminta bantuan tenaga-tenaga profesional sesuai dengan aspek bisnis yang diperjanjikan. Bila meminta bantuan penasihat hukum, hendaknya penasihat hukum yang tidak hanya mengerti hukumnya tetapi juga yang mengerti bisnisnya, dan sedapat mungkin pada Perjanjian-Perjanjian yang sifatnya sangat khusus dilibatkan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.

5.      Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)
Apabila salah satu unsur dalam perjanjian tersebut melibatkan unsur internasional, maka memahami praktek-praktek kebiasaan internasional juga sebaiknya dimengerti. Namun apabila unsur lokal sangat menentukan dalam perjanjian tersebut, maka nilai-nilai lokal tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Unsur lokal atau internasional bisa pada subyek perjanjian atau obyek dari perjanjian yang akan dibuat.

  1. Tahapan-tahapan Perancangan Perjanjian

Suatu Perjanjian tidak terjadi begitu saja, tetapi setelah melalui tahapan-tahapan tertentu, maka kita perlu mengetahui tahapan-tahapan penyusunan hingga berakhirnya suatu Perjanjian sebagai berikut:

1.      Munculnya kesepakatan dasar diantara para pihak untuk membuat Perjanjian;
2.      Negosiasi atas rancangan Perjanjian;
3.      Penandatanganan Perjanjian;
4.      Penerapan Perjanjian; dan
5.      Timbulnya perselisihan dalam Perjanjian.

Berikut ini adalah ulasan atas tahapan-tahapan diatas

1.      Munculnya kesepakatan diantara para pihak untuk membuat Perjanjian
Tahapan ini diawali melalui pembicaraan rencana pembuatan Perjanjian diantara pihak-pihak dengan saling menjajaki hal yang disepakati dalam bisnis sebelum menuangkannya dalam Perjanjian. Dalam bentuk formalnya penjajakan ini biasanya dituangkan dalam bentuk Letter of Intent (LoI) atau Memorandum of Understanding (MoU). Kesepakatan dalam LoI atau MoU belum merupakan sebuah kesepakatan Perjanjian, sehingga tidak mengikat tetapi menjadi garis-garis besar penyusunan Perjanjian.

2.      Negosiasi atas Rancangan Perjanjian
Perjanjian memuat kepentingan para pihak dan karena kepentingan pihak-pihak yang telibat dalam Perjanjian berbeda, maka untuk mencapai kesepakatan perlu dilakukan persesuaian diantara kepentingan tersebut. Tahapan ini diwarnai dengan tawar menawar keinginan masing-masing pihak. Karena tidak semua kepentingan para pihak dapat disepakati, maka diperlukan kerelaan masing-masing pihak untuk tidak terlalu memaksakan hal-hal yang sifatnya hakiki dalam Perjanjian demi tercapainya kesepakatan. Tahapan ini merupakan tahapan paling alot dan kesempatan bagi para pihak untuk mengetahui sejauh mana posisi masing-masing kebutuhan dalam Perjanjian, hal-hal yang diprioritaskan, kelemahan-kelemahan rancangan Perjanjian, dan tidak jarang diselingi dengan penggunaaan kekuatan posisi untuk memaksa pihak lain menerima tawaran kepentingannya. Dengan demikian klausul-klausul rancangan Perjanjian bisa mengalami pengurangan dan/atau penambahan.

3.      Penandatanganan Perjanjian
Hal-hal yang telah disepakati dalam negosiasi kemudian dituangkan dalam bentuk akhir Perjanjian untuk ditandatangani oleh para pihak. Sebelum Perjanjian ini ditandatangani, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pengecekan akhir, untuk memastikan hal-hal yang dimuat dalam Perjanjian merupakan hal-hal yang telah disepakati dalam tahapan perundingan, termasuk pengecekan terhadap pihak-pihak yang menandatangani Perjanjian.

4.      Penerapan Perjanjian
Perjanjian yang telah ditandatangani merupakan undang-undang bagi para pihak, karena itu pelaksanaan Perjanjian tidak boleh keluar dari ha-hal yang telah disepakati. Hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan Perjanjian, namun demikian sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu diantara para pihak dan bila perlu dilakukan kesepakatan tambahan sepanjang Perjanjian mengijinkannya.

Untuk memastikan pelaksanaan Perjanjian sesuai kesepakatan, maka para pihak sepatutnya melakukan pengawasaan terhadap pelaksanaanya, demi mencegah terjadinya wanprestasi yang berpotensi timbulnya perselisihan diantara para pihak

5.      Timbulnya Perselisihan Dalam Perjanjian
Kunci dari Perjanjian adalah kesepakatan dari para pihak. Perselisihan dalam Perjanjian muncul karena adanya penerapan Perjanjian yang bertentangan dengan kesepakatan dalam Perjanjian, atau tidak dipenuhinya hal-hal (prestasi) dalam Perjanjian, bahkan tidak jarang perselisihan muncul akibat bunyi klausula Perjanjian yang multitafsir dalam pelaksanannya yang disebabkan oleh penyusunan Perjanjian yang tidak matang dan terukur. Sama halnya dengan hakekat Perjanjian, maka hakekat penyelesaian perselisihan dalam Perjanjian adalah kesepakatan diantara para pihak, baik oleh kemauan sendiri maupun karena hasil putusan pihak atau badan yang disepakati untuk menyelesaikannya, sehingga dapat dikatakan pada dasarnya suatu perselisihan menimbulkan perik
 http://www.lexregis.com/?menu=legal_article&id_la=11

No comments:

Post a Comment